Dilatarbelakangi jatuhnya Shogun Tokugawa (1868), dengan semboyan “datsu a nyuu ou” anak-anak muda Jepang belajar modernisasi Barat untuk membangun bangsanya yang telah kental akan tradisi. Mampukah modernisasi berjalan seiring dengan tradisi? Sebuah pertanyaan singkat yang terpaksa dijawab oleh ‘bangsa matahari’ini dengan darah!
Khasanah sejarah Jepang diawali dengan kelompok bangsa China daratan yang bermigrasi kedalam bentangan kepulauan pojok timur pasifik ini. Pada abad 9 kekaisaran bentukan kaum imigran ini mampu menaklukan suku pribumi ainu yang telah terlebih dahulu menempati wilayah mereka. Pemerintahan yang stabil pasca penaklukkan, telah membentuk mental-mental kaisar menjadi lemah, mereka lebih mementingkan kesenangan-kesenangan sesaat dari pada memikirkan bagaimana mengurus pemerintahan yang baik.
Daerah-daerah baru hasil ekspansi kekaisaran dikelola secara otonomi oleh para Seiitaishogun yang diangkat oleh kaisar. Pembentukan shogun pertama dilakukan oleh Kaisar Kammu, yang dibentuk guna memerintah daerah utara Honshu. Lemahnya pengaruh kaisar dalam pemerintahan, telah mengakibatkan para shogun yang berkuasa di daerah-daerah dapat berbuat semaunya sendiri. Memang dengan kemampuan militer mereka yang mumpuni dan jiwa samurainya, mereka mampu mengendalikan kawasan vasal masing-masing. Praktis pada era shogunate kaisar hanya mampu ‘berdaulat’ di kawasan Heian (Kyoto) dan sekitarnya. Terasa ironis memang, tapi kenyataan pahit ini memang harus diterima oleh para kaisar dalam belantika sejarah Jepang masa keshogunan.
Era shogunate
Keadaan kekaisaran yang bobobrok tadi, tambah lengkap dengan dibubarkannya tentara kekaisaran. Pelan tapi pasti kawasan luar Kyoto telah tumbuh dengan pesat. Bahkan dapat dikatakan bahwa kemajuan kawasan yang dipimpin oleh para shogun beserta para samurainya ini telah jauh meninggalkan Heinan. Para pejuang ‘daerah’ ini bernafas dengan tradisi kedisiplinan yang teramat tinggi yang ditandai dengan lambang ikat kepala bushido telah memantikkan api persaingan antar shogun. Sudah dapat dipastikan jika pemerintah pusat hanya mampu melihat pasrah ketika para shogun mereka sibuk berebut kuasa kenegaraan.
Perebutan posisi toryo (puncak pimpinan shogun) pada umumnya didalangi oleh tiga keluarga besar dibelakang masing-masing kepentingan mereka. Adalah klan Taira, Minamoto dan Fujiwara, tiga sisi kekuatan besar yang saling bertikai pada awal masa keshogunan.
Akhir Pemberontakan Heiji (1160) telah mengangkat Taira no Kiyomori menjadi penasehat kaisar menggantikan Fujiwara yang berkuasa sebelumnya. Lewat jalan perkawinan kaisar dengan seorang gadis Taira telah memberikan alur tersendiri bagi era kekuasaan mereka. Pada masa ini praktis raja hanya sebagai simbol belaka. Dapat dikatakan bahwa kebijakan kekaisaran pada masa ini hanya berpangkal dari kepentingan klan Taira semata.
Ulah klan Taira ini serta merta mendapat respon negatif dari golongan Minamoto. Berpangkal dengan kemenangan pada Perang Gempei (1185), Minamoto no Yoritomo berhasil menggeser dominasi Taira. Pada tahun 1192 ia mendapat gelar Seii Taishogun (pemimpin militer) di Kyoto. Minamoto Yoritomo kemudian mendirikan markas besar di Kamakura, sedangkan kaisar tetap di Kyoto. Semuanya ini adalah permulaan dari kekuasaan feodal oleh keluarga samurai secara turun-temurun yang memerintah sampai kekuatan kekaisaran kembali berkuasa di tahun 1868.
Era pemerintahan feodal
Masa pemerintahan feodal dibagi menjadi lima periode utama. Periode Kamakura (1185-1333) menghadapi invasi tentara Mongol Kubilai Khan berkali-kali. Jepang berhasil menyingkirkan bangsa Mongol, walaupun awalnya mereka menemui banyak kesulitan oleh karena kurangnya persatuan dalam kalangan mereka sendiri selama ini. Periode ini juga ditandai dengan temuan model pedang baru oleh seorang pandai besi bernama Masamune. Namun kepemimpinan yang lemah pada periode ini telah mengurangi dukungan samurai (kelas pendekar).
Kaisar Go-Daigo mengawali Periode Muromachi (1333-1576) sampai pemberontakan pimpinan Ashikaga menyingkirkannya. Ashikaga dan keturunannya memerintah dengan kemampuan yang semakin memburuk dari waktu ke waktu. Jepang akhirnya tergelincir dalam perang sipil dan kekacauan.
Selama Periode Momoyama (1576-1600) ditandai oleh Oda Nobunaga. Ia adalah seorang bangsawan terkenal dari kawasan Nagoya dan salah satu cermin samurai yang luar biasa pada zaman Sengoku. Oda Nobunaga telah menciptakan organisasi dan taktik perang yang cukup maju. Berkat kebrilianan otaknya ia mampu menumbangkan era kesogunan Ashigaka. Bahkan ia mampu memaksa pasukan sami Budha yang terdiri dari kalangan sipil untuk meletakkan senjata. Oda Nobunaga tewas pada tahun 1582 di tangan Akechi Mitsuhide yang ironisnya adalah pengikutnya sendiri.
Pasca Oda Nobunaga laju pemerintahan ditentukan oleh Toyotomi Hideyoshi. Pengangkatan tampuk kepemimpinan dipegang oleh Hideyoshi, selepas ia mampu membalaskan penghianatan Mitsuhide dengan membunuhnya. Toyotomi Hideyoshi menjadi menteri utama pada tahun 1586. ia berasal dari kalangan keluarga petani miskin. Tindakannya yang paling monumental adalah menciptakan undang-undang yang menetapkan hanya kaum samurai yang boleh membawa senjata. Sangat penting disadari bahwa pada masa ini perbedaan antara samurai dan penduduk sipil amat tipis. Namun sampai abad 17 pertikaian antar klan samurai telah mengakibatkan sebagian samurai turun kasta menjadi penduduk biasa. Penyebaran agama Kristen selama era Kristen (1543-1640) pada mulanya bisa ditoleransi, namun kemudian ditekan karena dianggap sebagai ancaman. Asal tahu saja, bahwa pada masa ini pengaruh Eropa lewat perpanjangan tangan Portugis telah mampu menyentuh bangsa Jepang.
Selama Periode Tokugawa (1600-1867), Tokugawa Ieyasu mengalahkan keturunan muda Hideyoshi dan mendirikan markasnya di Edo (sekarang Tokyo). Kaisar masih memerintah dari Kyoto sedangkan keluarga Tokugawa membawa Jepang ke periode isolasi. Pada masa periode Tokugawa, golongan samurai secara berangsur menjadi bangsawan istana, kaki-tangan kerajaan. Daisho, pasangan pedang samurai yang pendek dan panjang (katana dan wakizashi) pelan-pelan berubah fungsi hanya sebagai simbolik semata. Pedang ini hanya sebagai lambang kekuasaan dan bukannya sebagai senjata yang melambangkan seorang samurai sejati, meskipun hak membunuh masih melekat pada diri setiap samurai. Satu lagi masalah pelik adalah banyaknya ronin (samurai tak bertuan) yang telah menjadi beban masyarakat.
Ketakutan era Tokugawa pada unsur asing telah membawa sebuah model isolasi yang teramat ketat dibanding periode sebelumnya. Rakyat Jepang dilarang pergi ke luar negeri dan berdagang dengan bangsa asing, sedangkan orang-orang asing diawasi dengan ketat. Penekanan kaku yang mengharuskan seseorang patuh tanpa syarat pada peraturan-peraturan mengenai ketaatan dan kesetiaan. Tak dapat dipungkiri memang jika para samurai ini amat bertekat untuk memurnikan barang setetes budaya Jepang dari penetrasi modernitas yang ditawarkan oleh barat. Terus hidup dengan berkudung kemiskinan memang harus tanggung oleh Tokugawa dan para samurainya, semua ini sekali lagi dilakukan demi sebuah prinsip suci yang telah turun temurun meraka warisi.
Dengan berakhirnya abad 19, pemerintahan Tokugawa mandeg dan korup. Kapal-kapal asing mulai mencoba memasuki Jepang dengan desakan terus-menerus. Kelaparan dan kemiskinan melemahkan dukungan untuk pemerintah. Jepang di masa Edo Tokugawa (1603-1867) bagaikan sebuah telaga di pegunungan, stabil dan menyendiri. Gejolak politik diredam melalui sistem kelas yang ketat, pengaruh asing dibendung dengan kebijakan menutup diri dari dunia luar. Namun dua setengah abad yang tenteram ini akhirnya koyak oleh kedatangan empat kapal perang Amerika yang merapat di Teluk Tokyo pada 1853. Lewat kekuatan militernya, komandan Perry menuntut Jepang membuka pintu bagi Amerika. Dua dekade kemudian berakhirlah masa keshogunan yang telah berlangsung dua ratus tahun lebih itu. Kedatangan Perry memang telah memicu sebuah transformasi besar.
Orang-orang mulai mengkritik keshogunan Tokugawa, masyarakat yang anti pendatang asing berubah pikiran dan mulai berkata bahwa orang Jepang mesti mencoba hidup bersama mereka. Konflik kepentingan yang rumit pun merebak, membenturkan kelompok yang mendukung kebijakan terbuka dengan kelompok yang menghendaki pengusiran orang asing; dan kelompok yang mendukung kaisar dengan yang mendukung shogun. Pertempuran antarfaksi ini berujung dengan Restorasi Meiji yang mengembalikan autoritas politik ke tangan kaisar pada 1868.
Era Meiji
Pada tahun 1868, Pangeran Mutsuhito diangkat menjadi kaisar dan memilih nama Meiji yang artinya “pemerintahan yang tercerahkan”. Kaisar Meiji mengambil alih kekuasaan pemerintah dengan membuka peluang bagi Jepang untuk westernisasi dan industrialisasi. Ia pun kemudian menumbangkan kekuasaan Shogun dan menggantikannya dengan administrasi kerajaan. Dia juga memindahkan ibukota kerajaan dari Kyoto ke Edo (Tokyo) dan melakukan berbagai reformasi. Larangan membawa katana (pedang) di tempat umum merupakan sebuah paraturan paling mencolok dikala itu. Cara berpakaian dan model rambut pun tak luput dari proyek westernisasi. Sebagai mana di ketahui bahwa selain pedang, rambut juga sebagai lambang kehormatan bagi seorang samurai. Tentu saja kaum samurai adalah kelompok yang paling kentara terkena imbas modernitas ini. Mereka-meraka yang tak mau berkiblat kepada barat, lari kehutan-hutan dan gunung-gunung guna malancarkan pemberontakan pada pasukan modern pemerintah.
Pemberontakan Satsuma
Era Meiji mengawali era reformasi dari sistem feodal ke sistem modern. Termasuk didalamnya memodern-kan tentara jepang dengan sistem barat. Sosok kuat di balik reformasi ini adalah Okubo Toshimichi. Dia dan Takamori adalah kawan baik dan sama-sama berasal dari Satsuma. Takamori mendukung proses reformasi sejak dari awal. Tetapi ketika hak-hak istimewa samurai di lupakan, terjadi perang batin, antara loyal terhadap negara di satu pihak dan kaum samurai di pihak lain.
Ketidaksetujuannya dalam mengatasi masalah Korea, membuat Takamori mengundurkan diri dari pemerintahan dan kembali ke Kagoshima. Dia mendirikan sekolah untuk samurai dan para samurai yang tidak puas dengan sistem pemerintahan mulai bergabung. Bujukan dari ‘samurai yang tersisihkan’ ini membawa Takamori memimpin pemberontakan terhadap pemerintah. Peristiwa ini tercatat sebagai “Pemberontakan Satsuma”. Pasukan Takamori kalah, dan mereka mundur kembali keKagoshima.
Dengan bersisa sekitar 300 samurai, mereka bertahan dengan bersembunyi didalam gua-gua di bukit Shiroyama. Ketika jumlah pasukannya menyusut, karena kurangnya pasokan makanan, amunisi dan juga karena kelelahan, Takamori sadar, bahwa dia telah kalah.
Di pagi hari tanggal 24 September 1877, sekelompok kecil samurai yang hanya mempunyai pedang ditangan untuk bertahan, di hujani meriam oleh ribuan tentara pemerintah. Tubuh Takamori dan pengikutnya di ketemukan terpenggal kepalanya. Mereka telah melakukan seppuku atau bunuh diri. Sebuah kematian terhormat yang mengambil tempat tertinggi bagi para samurai sejati.
Pembeerontakan yang berhasil ditumpas pada tanggal 24 September 1877 ini merupakan sebuah pemberontakan yang tercatat sebagai aksi penentangan samurai pada pemerintah pusat yang terakhir tercantum dalam sejarah Jepang.
Di tahun 1889 Jepang membuat Undang-Undang bergaya barat, prinsip yang mengantarkan kepada kesadaran nasional dengan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi. Serta kepercayaan diri yang tumbuh dalam bangsa ini. Prinsip yang terkandung dalam Undang-undang tahun 1889 inilah yang mampu mengantarkan modernisasi barat dan adat tradisi Jepang dapat berjalan seiring. Maka pengiriman pemuda-pemuda Jepang ke Eropa pun makin digalakkan, mereka berangkat ke ‘benua modernisasi’ tersebut dengan tekat dan semangat seorang ‘samurai.’ Semangat samurai dengan bersenjatakan ‘pedang’ modernisasi pulalah yang telah mengantarkan kemenangan Jepang dalam perang melawan China dan Russia. Kini, ketika sang nichi mengintip di ufuk timur, duniapun serempak berpaling pada era kebangkitan dai Nippon yang telah terbit untuk menyongsong masa depannya.
Artikel Terkait: