Pada awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Keadaan yang semakin parah dimana ada perselisihan antara para anggotanya, terutama di Semarang dan Yogyakarta membuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang anggotanya mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia.
Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran komunis kesal dan keluar dari partai dan membentuk partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Semaoen diangkat sebagai ketua partai.
PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis Internasional pada 1920. Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kekejaman PKI
Dalam Peristiwa Madiun September 1948, pengikut PKI antara lain menangkap Bupati Magetan Sakidi. Algojo PKI merentangkan sebuah tangga membelintang di atas sebuah sumur di Soco. Lalu tubuh sang bupati dibaringkan di atas tangga itu. Ketika telentang terikat seperti itu, algojo menggergaji tubuh Sakidi sampai putus dua, langsung dijatuhkan ke dalam sumur.
Nyonya Sakidi yang mendengar suaminya dieksekusi di Soco, menyusul ke sana dengan menggendong dua anaknya yang berusia 1 dan 3 tahun. Dia nekad minta melihat jenazah suaminya. Repot melayaninya, PKI sekalian membantai perempuan itu disaksikan kedua anaknya, lalu dicemplungkan juga ke dalam sumur. Di Pati dan Wirosari, dubur warga desa ditusuk dengan bambu runcing lalu ditancapkan di tengah sawah bagai orang- orangan pengusir burung.Sementara itu, seorang perempuan ditusuk vaginanya dengan bambu runcing lalu juga ditancapkan di tengah sawah.
Kekejaman Peristiwa Madiun ini melekat sebagai ingatan traumatik penduduk di sekitar Madiun itu.Sehingga, menurut Taufiq,ketika 17 tahun kemudian PKI meneror di Delanggu, Kanigoro, Bandar Betsy dan daerah lain dalam pemanasan pra-Gestapu dengan klimaks pembunuhan 6 jenderal pada 30 September 1965,penduduk Jawa Timur yang masih ingat peristiwa 17 tahun silam itu bergerak mendahului PKI dan melakukan pembalasan dalam suatu tragedi berdarah. Tragedi serupa terjadi di Jawa Tengah. Tulisan Taufiq Ismail selengkapnya, bisa dibaca pada buku Simtom Politik 1965, Kata Hasta Pustaka, Jakarta 2007.
Artikel Terkait: